Selasa, 08 Desember 2009

Sudah tak ada ide lagi untuk menambahi tulisan ini..

Sudah lama sekali saya tidak mengisi blog ini, terakhir kali mengisinya ialah pada waktu 27 Maret 2009, artinya rentang waktu dengan tulisan ini berkisar 9 bulan. Tentunya bukan karena lupa tentang blog ini, lupa username atau passwor pun juga tidak. Akan tetapi masih belum ada kesempatan untuk apakah blog ini sejatinya diperuntukkan. Saya sudah terlalu banyak memiliki blog dengan 1 website serta 1 website yang dikelola bersama beberapa orang. Bahkan sampai menulis ini pun saya masih bingung untuk apa yaa yang tepat blog ini. Saya juga yakin tak ada pembaca yang singgah, sehingga dalam artian tidak banyak orang yang mengetahui kecuali orang-orang yang saya beritahu. Karena memang tidak terkenal maka blog ini pun dikasih tahu ke beberapa teman juga tak ada pengunjung setianya.

Sudah tak ada ide lagi untuk menambahi tulisan ini..


Jumat, 27 Maret 2009

Lelucon Parodi Asa Sepi


Seperti biasanya, blog ini memang dibuat khusus untuk menulis apa yang saya suka, saya rasa, dan tak perlulah banyak orang tahu apa yang saya tahu soal kejadian dan keunikan atau sekaligus kemuakan akan sebuah gambaran realitas. Ilmu sosial yang saya ambil memang seru dan sangat menjiwa dalam dada pun juga menggelora dalam rasa. memiliki kemapanan dan kematangan secara intelektual dkecerdasan tidak jadi garansi jaminan resmi. Seseorang mestilah hebat untuk punya jiwa sosial agar peka atas sekitarnya. Ah, tak perlulah berpanjang pembuka. Karena saya hanya ingin menulis anpa banyak diketahui orang lain.

Saya jadi terpikir soal sebuah program tayangan televisi beberapa masa silam. Namanya Audisi Pelawak TPI (mohon maaf saya sebut stasiun televisinya bukan karena promosi atau ikatan emosi). Tingkahnya berpolah banyak gaya atas para pesertanya, segala macam atribut untuk sebuah performa menuntut adanya kecakapan prima. Entah komedi yang disodorkan lucu atau tidak, entah pula apakah apa yang diucap masuk akal itu dapat memuatkan kedalam telinga atau tidak. Yang penting untuk mereka para peserta adalah tampilan. Ya, tampilan saya katakan. Pemirsa tidak perlu banyak bicara, cukup lihat aksinya, dan silahkan sms jika suka. Tak peduli apakah itu lucu atau tidak, itu pantas atau bukan, mengundang simpati hingga ingin lihat lagi ataukah tidak.

Panggung lawak yang mencetak para pelawak karbitan sungguh berbeda dengan panggung lawak komedi yang mencetak para pelawak sungguhan. Di masa-masa era kejayaan srimulat betapa para komediannya banyak tapi tidak berebutan dalam lempar-lemparan kata, lakon yang dimainkan acapkali berulang tapi pemirsa yang hadir tak pernah berhenti tertawa sepanjang acara. Benar-benar memuaskan pemirsa sekalipun apa yang dihasilkan sangat tak pantas bagi mereka para pelawak. Biaya bayaran honor mereka sungguh sulit dikatakan seimbang dengan apa yang mereka lakukan. Angota hiburan ini mesti berpanjang kaki menapaki jalan tanpa henti menuju satu pentas ke pentas seni lainnya. Namun lihatlah kini, apa yang diusahakan dahulu benar-benar melegenda, melanglang buana, serta sulit dilupa. Kehadiran mereka menjadi basis inspirasi tersendiri bagi mereka-mereka pelawak yang hadir belakangan. Tingkah yang ditiru, penghormatan yang selalu ditunggu dan digugu, juga sebuah ekspektasi tak terhingga akan nilai kehidupan sejatinya. Benar-benar memotivasi dan menginspirasi.

Tak ada ubahnya dengan panggung poltik negeri ini. Layaknya audisi pelawak TPI. Tanpa kontribusi, tak kenal siapa sosoknya, tiba-tiba wajahnya terpajang disana-sini menanti uluran tangan demi menyumbangkan suara. Mengiba dan menghiba para pelihatnya agar menyumbangkan suara. Itu pulalah tokoh model pemimpin di negeri ini. Saling lempar lelucon tak pantas dan guyonan tak beretika. Pendidikan lebih tinggi dari sekedar pelawak karbitan, tapi substansi lawakan sama dengan anak yang tidak disekolahkan. Berebut simpati yang tak lucu dan berebut hal yang tak perlu. Mengungkit hal yang seharusnya itulah sebuah kewajiban sebagai usaha untuk mencoba maju melawak lagi. Ah, begitulah dagelan. Kadang membuat terbahak tanpa henti, dan kadang membuat apa yang disebut anak jaman sekarang dengan kata-kata 'garing'. Sepi dan hambar, tidak memulai dari bawah dan tak tahu arti susah. Hanya tahu yang penting berguyon akan tetapi tak peduli lucu atau tidak. Garing dan basi.


Selasa, 17 Februari 2009

Mengukur Tukang Cukur



Pagi tadi saya mencukur rambut, sebuah kebiasaan bagi siapapun jika rambut telah membuat gerah, dan disaat panjang telah hampir melewati indra pendengaran. Saya bergegas dengan sepeda onthel yang boleh tukar tambah dengan sepeda sebelumnya, lagi-lagi bapak saya yang punya uang. Lupakan soal sepeda dan olahraga yang telah kesiangan. Bayangkan aja, jam 9 pagi niat olahraga..disaat tukang sayur udah membawa pulang kembali gerobaknya ini baru mau olahraga.

Saya menghampiri tukang cukur langganannya dan aha! im the first man! Tips saya kalo mau mencukur rambut ialah, datang dan jadilah first man, cukur rambut lho bukan salon terkenal. Sebab kalau masih pagi dan datang diawal hari, semua alatnya masih bersih, tidak ada sisa kutu, sisa ketombe, apalagi kotoran rambut lainnya. Seperti biasanya, kepada siapapun saya berusaha untuk melakukan sebuah komunikasi. Setelah dicukur samping kiri dan kanan yang tersisa atas. maka saya bertanya.

" A', berarti bisa dong model rambut kayak apa aja? "

si Aa karena dia asgar (asli garut), dengan tenang menjawab : "bisa dong, biasanya mah anak2 muda pada bawa gambar contoh rambutnya mau kayak apa"

saya kembali menyergah, "keren, bisa mencukur sesuai model yang diinginkan"

lalu si Aa' kembali berkilah, "ah gaya anak sekarang mah gak susah, apalagi modelnya yang diacak-acak gitu..yang susah malah rapihin kayak cepak ma model abri."

Begitulah obrolan saya dengan si Aa' pencukur rambut, kiosnya yang ngontrak berukuran 3x2 pun sudah cukup bagi dirinya, ada sebuah akuarium serta radio peneman setia, tak lupa koran pun ada, dan yang takjub ialah korannya bukan Poskota si koran iklan ibukota. Akan tetapi Republika, bacaannya intelek muslim di Indonesia.

Jangan kira bahwa ia hanya tukang cukur satu-satunya disana, kalo di kiosnya benar ia hanya seorang diri. Tapi lihat keluar, dari pintu gerbang komplek sudah ada satu, masuk 200 M ke dalam lagi dari sana ada satu, masuk lagi 50 M ada kios milik si Aa', dan masuk lagi sekitar 100 M ada kios cukur rambut lagi. Semua seragam satu kampung yakni Asgar alias Asli Garut Jawa Barat. Garut memang menyimpan keahlian cukur selain dodol. Dulu saya pernah mencukur rambut sama orang minang, ealah hasilnya malah sampai rumah saya ditertawakan sebab cukurannya seperti rumah gadang. Depannya melengkung keatas bak rumah gadang ala minang.

Terlepas dari itu semua, saya mengambil pelajaran dari si Aa' asgar (begitu aja deh saya panggilnya). Pertama, ia memang ahli dibidangnya serta sangat menguasai, mau model kayak apa juga oke. Kedua, nilai persaingan yang tidak saling sikut-sikutan sebab diantara para pencukur memiliki ikatan perkenalan satu sama lain, sebab begitulah seharusnya yakni jangan sampai persaingan tak sehat terjadi sehingga menghancurkan usaha serta nama kampung halaman. Ketiga ialah kekuatan rizki, benar sekali bahwasanya Allah tidak pernah salah dalam memberikan rizki bagi hambaNya yang mau berusaha, betapapun hebatnya sebuah usaha mestilah ada pesaingnya dan betapapun persaingan yang ada asalkan dihalalkan niscaya ada banyak rizki didalamnya terbukti dari setiap tukang cukur tersebut selalu saja dipenuhi oleh para antrian penunggu giliran untuk dicukur dengan puncak keramaian setiap sabtu dan ahad.

Salam Cukur!

Jumat, 13 Februari 2009

Sugestian Minded


Sudah pernah mendengar sebuah fenomena baru belakangan ini? Jika belum maka saya sudah. Jombang sebuah daerah di belahan timur pulau Jawa ini, selain letaknya di Jawa bagian timur. Jombang memiliki sebuah pesona fenomenologi. Entah mengapa Jombang menjadi sebuah daerah yang oke punya belakangan ini. Setelah geger dengan isu pelaku mutilasi terhebat sepanjang dasawarsa ini, Jombang kini kembali mengguncang berita. Bukan soal pembunuhan lagi, tapi sekarang cerita pengobatan serta penyembuhan. Sejak dahulu memang Jombang memiliki para kyai non medis yang ahli menyembuhkan berbagai penyakit. Kyai yang ahli dzikir dan wiridan memiliki pesona tersendiri bagi banyak orang. Dengan mengusap dan menyembur maka pasien sembuh. Sedih memang saat pengobatan dengan mudah menjadi sarana yang tanpa lelah. Percuma ada sebuah Fakultas Kedokteran, buat apa ahli biomedis.

Sebabnya kali ini ialah Ponari, seorang bocah berusia dibawah 15 Tahun yang masih duduk dibangku kelas 3 SD menjadi sebuah fenomena. Berawal dari sebuah peristiwa yang nyaris mengangkat nyawanya. Ponari justru menuai banyak kontroversi atas bawah. Mengapa kontroversi atas bawah? Ya kontroversi dilapisan atas dan lapisan bawah. Disaat lapisan atas memandang kehadiran Ponari yang lebih dikenal sebagai dukun ciliki karena piawai menyembuhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan sebuah batu yang ia temukan disisinya saat peristiwa mengangkat nyawanya tak jadi alias peristiwa tepatnya tersambar petir. Kalangan atas dan akademisi, keadaan Ponari merupakan fenomena sosial. Disaat masyarakat kecil membutuhkan pengobatan atas sakitnya, namun ternyata jangankan untuk berobat, untuk makan keseharian pun tak bisa. Sehingga sejatinya kehadiran Ponari ialah sebagai sumber sugesti atas penyakitnya. Sedangkan kalangan bawah menilai, Ponari ialah sakti mandraguna, dengan batu ajaibnya ia mampu menyembuhkan penyakit yang tak dapat disembuhkan.

Benar sekali, tidak ada yang bisa diadili soal Ponari ini. Ini murni soal fenomena dan sebuah sugesti. Padahal sejatinya fenomena dan sugesti ialah dua hal yang tak bisa dilupakan. Keduanya memiliki kaitan erat bagi banyak orang. Bukan hanya lapisan atas dan bawah, tapi soal mereka yang atheis dan theis pun mempercayai soal fenomena dan sugesti. Namun hanya penyikapannya saja yang berbeda. Kalangan theis (beragama) menilai sugesti ada karena sebuah talenta lain dalam manusia yang berawal dari sebuah kepercayaan. Sedangkan atheis menilai bahwasanya sugesti itu merupakan nilai eksploitasi yang keluar karena ada faktor eksternal murni manusia dengan manusia, jika tidak dipercayai pun sugesti tetaplah sugesti. Benar atau salah, saya bukan ahlinya. Hanya berusaha menerka sebuah kejadian yang ada saja.

Berita terkait soal Ponari bisa di klik di:






Kemiskinan Takkan Usai


Sebenarnya sudah lama sekali saya ingin menuliskan sebuah unek-unek, kali aja tepri saya yang saya pikir unek-unek dalam hati ini dapat keluar dengan baik dan sempurna serta diterima banyak pihak untuk membacanya/ Lagi-lagi saya tidak pernah menganjurkan agar seseorang membaca blog saya yang ini. Ini blog hanya berisi kumpulan keanehan dan kenyataan saja.

Ok guys, lets jump to the next ground. Pastinya kalian tahu apalah itu soal miskin. Bagi saya sendiri kemiskinan selaku seorang yang dari kecil sampai sekarang aktif diranah sosial memiliki kesan yang sangat mendalam. Kemiskinan di negara ini adalah sebuah bentuk kenyataan bagaikan sebuah hidangan di meja makan.

Mengapa demikian, sejatinya kemiskinan di negeri ini takkan dapat dientaskan jika sistemnya yang kapitalis liberalis diterapkan pada negeri yang sejak dahulu dikenal agraris dan kerakyatan. Kemiskinan yang ada hari ini, sejatinya ialah sebuah bentuk implementasi nyata dari sebuah pemiskinan yang disebabkan oleh sistem yang ada.

Sudahlah kawan, ini bukan sebuah gurauan atau igauan di siang bolong. Kita tentunya paham mengapa di kota besar seperti ibukota negara bangunan sempit, kumuh, dan liar masih dibiarkan tetap ada? Sebab senyatanya mereka akan menjadi ladang empuk para (maaf saya menyebut) penguasa yang akan berkuasa. Kondisi kemiskinan itu ialah kondisi yang telah dipelihara bak tabungan yang akan menjadi sebuah ladang untuk menjadi kenikmatan sesaat mereka-mereka yang akan berkuasa. Lihatlah betapa serunya ketika para masyarakat miskin itu menjadi bulan-bulanan disambangi mereka yang akan maju pada pemilihan menjadi seorang penguasa.

Ya, kemiskinan dinegeri ini takkan pernah ada ujungnya mencapai kesejahteraan. Sebab para penggiat yang seharusnya mensejahterakan rakyat tidak akan mensejahterakannya. Para calon penguasa merebut simpati massa dari kawasan miskin tersebut. Dengan jargon dan pesan tertentu maka mereka melanggeng mulus maju menuju kursi empuk sambil meminum susu. Ya jelas dong, jika rakyat disejahterakan dan menjadi sejahtera, maka kepada siapa para calon penguasa mengiba agar mendapatkan suara. Kemiskinan dan kekuasaan ialah simbiosis mutualisme tanpa kenal lelah. Setiap mereka yang miskin membutuhkan bantuan dana, maka si calon penguasa memberikannya. Ketika si bakal penguasa ingin suara, maka rakyat miskin memberikan suara. Kemiskinan? kapan akan pergi? Kemiskinan pergi diakhir jaman nanti ketika seseorang tidak tahu menahu kemana mereka akan memberikan zakatnya. Ya! Ketika Imam Mahdi berkuasa sembari menunggu Hari Akhir tiba.

Bersih-bersih


Sejatinya ini bukanlah tulisan pertama di blog ini, siapapun yang pernah tahu bahwasanya blog ini adalah something secret blog about diary my life. Hayah who is my life in this blog? Nampaknya pun tak perlu dijabarkan. Mengapa sih menulis dari awal lagi? Ya! Karena ada banyak bekas panjang yang tak perlu diuraikan panjang dalam tulisan bertajuk bersih-bersih kali ini. Tulisan yang mengawali dimulainya tulis-menulis perihal keseharian hidup saya.

So simple, saya hanya ingin menuliskan apa yang ingin saya ceritakan. Tanpa lebih berharap komentar masuk atau tidak. Hei guys this is not important content when you would be add the comment. Jadi simpan ajalah komentar-komentarnya buat sesuatu yang lebih seru lagi.